Selasa, 07 Juni 2011

Mr. Kadaluarsa


Tepat 30 menit sebelum adzan Magrib berkumandang, Nara sudah memarkir sepeda motor matik merah jambunya di depan minimarket. Ia langsung masuk ke dalam tanpa melepas dulu helmnya. 3 hari yang lalu ada yang kecurian helm di minimarket ini, makanya Nara tak ingin mengambil resiko dan memilih belanja memakai helm kesayangannya.

Begitu masuk, cewek mungil yang berpakaian serba pink itu segera mengambil keranjang belanjaan yang disediain di samping pintu masuk. Ia buka daftar belanjaan yang sudah dipesan mamanya. Busyet, daftarnya panjang banget! Maklum, itu kan stok kebutuhan selama seminggu. Kalau semua itu nggak terpenuhi, maka kelangsungan hidup keluarga Nara akan terancam.

Satu per satu barang mulai diambilnya. Mulai dari susu, deterjen, tisu toilet sampai obat penumbuh kumis buat papa. Entah kenapa obat kayak gitu bisa ada di minimarket. Aneh banget deh.

Dalam waktu relatif singkat, keranjang belanjaan Nara sudah penuh. Bukan cuma satu keranjang, tapi dua. Waduh, lumayan berat juga tuh! Tapi nggak apa, lumayan sekalian dijadiin barbel.

Nara segera bergabung dengan antrian di kasir yang cukup panjang. Ternyata ia bukan satu-satunya orang yang belanjanya gila-gilaan. Orang yang di depan, belanjaannya lebih gila lagi.

“Kayaknya ada barang yang kelupaan deh. Apa ya?” pikir Nara coba mengingat-ngingat. “Aha, Slimo Green Tea!”

Tanpa pikir panjang, Nara segera keluar dari antrian. Ia hendak mengambil Slimo Green Tea, minuman teh hijau yang katanya bisa berkhasiat menurunkan berat badan.

Rak minuman itu ada di paling ujung. Sengaja nggak disimpan di lemari pendingin karena katanya khasiat Slimo Green Tea akan jauh lebih terasa kalau disimpan di tempat yang nggak terlalu dingin. Aneh, padahal kan yang dingin lebih enak.

Ups, Slimo Green Tea-nya tinggal satu lagi. Nara segera mengambilnya. Tapi saat hendak mengambil, tiba-tiba ada tangan lain yang mencoba menyerobot tangannya.

“Oh, maaf!” ucap cowok berjaket hitam yang sedang berdiri di samping Nara. Ia segera melepas genggamannya.

Nara terpaku. Ia pun segera ikut melepas tangannya.

“Gila, ada Robert Pattinson di depan gue!” seru Nara berseloroh dalam hati.

“Kamu pasti mau minuman ini kan? Ambil aja!”

“Ah nggak, nggak apa-apa kok.”

“Udah, kamu kan yang paling duluan. Kan ladies first,” ujarnya lagi sambil melemparkan senyum.

Senyumnya langsung menggetarkan hati Nara. Detak jantungnya serasa berhenti sejenak. Cowok itu ganteng banget. Udah ganteng baik hati lagi. Meski agak malu-malu kucing, Nara pun akhirnya mengambil minuman itu.

“Ma... makasih ya.”

“Iya, sama-sama.”

Antrian di kasir sudah semakin panjang. Nara harus segera buru-buru mengantri kalau nggak mau diserobot sama yang lain. Pertemuan yang menggetarkan hati pun terpaksa diakhiri.

****

Pagi ini Nara nggak masuk sekolah. Kepalanya terasa begitu berat kayak lagi make helm baja. Perutnya mual dan mulas kayak cucian yang lagi diperas. Ia berbaring lemas tak berdaya di tempat tidurnya.

Dari semalam Nara nggak bisa tidur karena terus muntah-muntah dan bolak-balik keluar masuk WC. Perutnya dikuras habis-habisan. Ia dehidrasi. Cairan tubuhnya berkurang drastis. Nara terkena muntaber. Entah kenapa ia bisa terkena penyakit itu. Padahal kan Nara selalu rutin menjaga kesehatannya.

Tiba-tiba dering lagu Keong Racun membangunkannya. Benar-benar racun. Perutnya serasa makin dikocok. Irama ajep-ajep lagu itu seakan mengaduk-ngaduk perutnya. Ia segera mengangkat handphone-nya.

“Halo, Sil!” jawab Nara lemas. Mukanya pucat kayak orang sekarat.

“Lo nggak kenapa-napa kan? Lo nggak bermaksud buat bunuh diri kan?” tanya Sisil langsung nyerocos tanpa titik koma.

“Elo ngomong apaan sih?”

“Lo nggak minum racun tikus kan? Jangan gara-gara lo putus sama si Radit lalu lo nekad mau bunuh diri. Sadar Na, elo masih muda!”

“Gue nggak bunuh diri! Lo lebay banget deh! Gue cuma muntaber doang kok!”

“O, syukur deh kalo gitu!”

“Ye, orang muntaber kok malah disyukurin sih!”

“Hehe, sori!”

“Makanya, kalo ngomong mikir dulu! Jangan udah ngomong baru mikir!”

“Sori deh. Betewe, lo udah diperiksa ke dokter belom?”

“Belom, kayaknya sih bentar lagi dokternya mau ke sini.”

“Cepet sembuh ya, Na! Kalo nggak ada lo, di kelas jadi nggak rame.”

“Iya, gue pasti sembuh kok.”

“Ya udah, Pak Beni udah masuk ke kelas tuh, ngobrolnya entar disambung lagi ya!”

“Iya.”

Huh, dasar Sisil! Orang muntaber kok dibilang mau bunuh diri sih. Ada-ada aja deh.

Tok... Tok... Tok....

“Na, Pak Dokter udah dateng!” seru Mama sambil mengetuk pintu kamar Nara.

“Masuk aja, nggak dikunci kok!”

Mama dan Pak Dokter pun segera masuk ke dalam.

“Selamat pagi, Nara!” sapa Pak Dokter seraya duduk di samping tempat tidur Nara.

“Pagi juga, Dok!”

“Muntabernya sudah berapa hari?”

“Baru hari ini, Dok.”

Pak Dokter segera mengeluarkan stetoskop dan instrumen-instrumen lain dari dalam tasnya. Lidah, perut, tekanan darah, detak jantung serta kembang kempis nafas Nara diperiksa dengan sangat teliti oleh Pak Dokter.

“Kalau menurut gejalanya sih, sepertinya kamu keracunan makanan.”

“Keracunan makanan?” Nara dan Mama kaget. Mereka berdua saling menoleh.

Pandangan Nara langsung tertuju pada sebotol Slimo Green Tea sisa semalam yang diletakkan di meja di samping ranjang. Nara segera meraih minuman itu. Dilihatnya tanggal kadaluarsanya. Ya Tuhan, minuman itu sudah kadaluarsa!

“Kayaknya saya memang keracunan makanan, Dok.” kata Nara sambil menunjukkan minuman itu ke Pak Dokter.

“Pantas saja kamu muntaber. Minuman ini sudah kadaluarsa. Ini bahaya sekali!”

Nara tersenyum malu.

“Tapi tak apa, kamu akan sembuh kok. Saya akan berikan kamu obatnya. Nanti diminum ya!”

“Iya, Dok.”

Ternyata minuman itulah penyebabnya. Bukannya ampuh buat menguruskan badan, malah ampuh buat menguras perut. Nasib Nara memang sial.

****

“Na, tolong beliin minyak goreng ke minimarket gih!” pinta Mama sambil menyodorkan uang lima puluh ribuan.

“Ini kan udah malem, Ma! Kalau ada yang ngapa-ngapain aku gimana?”

“Kalau papa ada di rumah, Mama nggak akan nyuruh kamu. Lagian kamu kan bisa jaga diri.”

“Kenapa nggak besok lagi aja sih!”

“Kalau besok nggak akan keburu. Minimarketnya kan bukanya agak siang. Mumpung sekarang masih buka, buruan beliin gih!”

Dengan raut muka cemberut, Nara segera meluncur bersama skuter matiknya. Baru sembuh udah disuruh ke luar malem. Yup, setelah beristirahat selama 5 hari, akhirnya Nara bisa kembali sembuh seperti sedia kala. Muntaber memang penyakit yang menyebalkan. Amit-amit deh kalau sampe terkena lagi.

Dalam secepat kilat, Nara sudah memarkirkan motornya lalu langsung bergegas masuk ke dalam minimarket. Di jam-jam segini, minimarket ini memang udah sepi. Cuma ada Mbak Kasir yang masih setia menebar senyum meski tak ada pembeli.

Nara tak boleh menoleh barang lain. Tujuannya cuma satu, minyak goreng.

Minyak goreng sudah di tangan. Nara tak mau mengulur waktu. Ia harus cepat pulang sebelum jam sembilan malam. Soalnya kalau udah lewat jam segitu, cewek penunggu pohon asem di tikungan jalan biasanya akan keluar ketawa-ketiwi mengenakan gaun putih kebesarannya.

Nara segera melangkahkan kakinya menuju kasir. Tapi sesaat sebelum menginjakkan langkah ketiga, tiba-tiba terdengar suara kasak-kusuk yang langsung menyita perhatiannya. Nara penasaran. Ia segera mendekati arah suara itu.

Dari sela-sela rak toko, ia lihat sesosok manusia berjaket hitam yang tengah sibuk mengambil beberapa botol Slimo Green Tea ke dalam tasnya. Nara kenal cowok itu. Ya, dia cowok yang waktu itu. Tapi, kenapa ia masukin minuman-minuman itu ke dalam tasnya? Jangan-jangan ia pencuri. Tidak, ia menukarnya dengan Slimo Green Tea lain dari dalam tasnya.

“O, jadi gini ya kelakuan lo!” seru Nara yang langsung bikin cowok itu kelabakan. “Harusnya gue curiga, mana ada sih cowok yang suka Slimo Green Tea. Gara-gara elo, gue jadi muntaber tau!”

Bep. Tiba-tiba cowok itu langsung membekap mulut Nara. Ia langsung mengeluarkan sebilah pisau dari dalam tasnya lalu disodorkan ke leher Nara. Nara coba meronta, tapi ia tak bisa bergerak.

“Lo jangan macam-macam ya! Gue bunuh baru tau rasa lo!” ancam cowok itu sambil terus menyodorkan pisaunya.

Nggak, cowok itu nggak mirip Robert Pattinson lagi. Dia lebih mirip vampir jahat yang haus darah. Nara masih coba meronta. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak bisa apa-apa.

Tiba-tiba, Nara jadi teringat kembali akan perjuangannya dalam melawan muntaber. Gara-gara cowok itu, Nara harus berjuang mati-matian menahan mulas yang perihnya bukan main. Gara-gara cowok itu, ia hampir saja sekarat karena harus keluar masuk WC. Ia tak boleh diam saja. Ia harus melawan.

Segera tangannya bergerak. Sikunya langsung menohok perut cowok itu. Sontak, cowok itu segera melepas bekapannya.

“Itu balasan untuk perut mulas gue!” seru Nara sambil langsung siap siaga bergaya kayak petinju profesional.

Jangan macam-macam sama Nara. Ia adalah karateka handal pemegang sabuk hitam. Ia tak akan segan-segan memberi pelajaran pada lawannya.

Cowok itu mencoba menghadang, tapi sebuah tendangan keras keburu menghantam perutnya. Botol-botol Slimo Green Tea dari dalam tasnya langsung berhamburan ke lantai.

“Itu tendangan untuk perut mual gue! Dan ini...”

Seeet.... kepalan tangan Nara mendarat di wajah cowok itu. Giginya langsung rontok. Ia langsung ambruk.

“Ini untuk senyum palsu lo!”

Mendengar keributan itu, Mbak Kasir dan beberapa karyawan minimarket itu langsung pada berdatangan. Cowok itu langsung diboyong ke kantor polisi. Menurut keterangan polisi, cowok itu nggak cuma sekali ini ngelakuin aksi kriminalnya. Modusnya selalu sama, yaitu menukar minuman yang masih baru dengan minuman yang sudah kadaluarsa. Minuman yang masih baru itu lalu dijual ke pengecer dengan harga yang jauh lebih murah.

Selain itu, ia juga adalah si pencuri helm motor yang saat ini tengah diburu polisi. Sudah banyak yang menjadi korbannya. Cowok itu memang sangat menyebalkan. Dasar, Mr. Kadaluarsa!

****

Minggu, 01 Agustus 2010

Di Balik Selimut Fatamorgana


Oleh: Rosmen

Aku terbangun dari lelap tidurku. Hanya secuil celana dalam bergambar Lady Gaga yang membungkus tubuh. Jangan tanyakan darimana aku mendapatkannya. Itu pemberian ayahku. Yang kuingat, ayah juga punya satu yang berwarna ungu.

Kurasa masih terlalu dini untuk mengucapkan selamat pagi. Jarum jam masih tertahan di angka 1.30 malam. Sepertinya secuil celana dalam takkan mampu menangkal dingin yang merajam tubuh. Segera kupakai sehelai celana boxer dan kaus oblong putih bergambar simpanse. Lalu, kulangkahkan kaki ini menuju dapur. Tenggorokanku butuh percikan embun. Aku ingin minum.

Suasana ruang tengah begitu gelap gulita seperti liang lahat. Ya, kata orang liang lahat seperti itu. Jangan tanyakan aku kebenarannya karena aku belum berencana pergi ke sana.

Sesaat sebelum kaki menginjak lantai dapur, tiba-tiba terdengar samar-samar suara obrolan dari arah kamar ayah ibu. Pintu kamar mereka sedikit terbuka. Kenapa ayah ibu masih terjaga? Apa mereka belum tuntas bersenggama ria? Hus, dasar anak durhaka! Itu urusan orang tua. Aku tak berhak mensortir keintiman mereka.

Tapi, obrolan samar itu terlanjur menggelitik kuping. Kubiarkan Tenggorokanku kering kerontang sejenak. Segera kubuka pintu kamar mereka lebih lebar.

“Ayo ke sini, Nak!” ucap Ibu melemparkan pandangannya ke arahku.

“Di luar dingin, ayo temani Ayah Ibu di sini!” tambah Ayah sambil menepuk-nepuk bantal mengisyaratkanku untuk ikut bersua bersama mereka.

Aku berdiri terdiam. Tidak, aku sudah dewasa. Aku telah melewati masa ekstra pubertas remaja. Aku tak pantas berninabobo lagi di singgasana mereka.

Tapi, bukankah aku terlahir dari sari-sari genetik mereka. Di singgasana ini aku tercipta, dari bulir-bulir sperma dan ovarium bunda. Erotisme malam mulai membisikkan asmanya. Mungkin tak apa bila aku sesekali terlelap bersama mereka.

Kubuang logika, kubiarkan insting bicara. Tak terasa kudapati tubuhku telah terselip di antara mereka, di balik selimut berwarna kuning jingga. Mereka merapatkan tubuh. Memelukku erat seperti bayi usia belia. Tapi, kenapa tubuh kalian begitu dingin? Kenapa pelukan kalian begitu beku?

Mataku terbuka. Embun pagi basah mencium keningku. Ternyata semua itu hanya mimpi. Aku segera bangun berlinang mimpi sisa semalam. Mimpi aneh tadi masih menggelitik hati. Sejuta intuisi menggerayami. Aku segera menuju kamar ayah ibu untuk memastikan diri. Apa mereka masih tertidur nyenyak?

Ups, ternyata benar. Mereka masih terlelap. Kudekati mereka lebih intim. Kusentuh tangan ibu yang menggelayun ke bawah ranjang. Ibu, kenapa tanganmu begitu keras dan dingin? Kutatap pula kedua wajah mereka. Kenapa wajah kalian begitu pucat? Ayah Ibu, buka mata kalian! Bangunlah! Jangan tinggalkan aku sendirian!


Minggu, 25 Juli 2010

Gara-gara Bakso

Oleh: Rosmansyah

Sehabis bermain, Obi tidak pernah melewatkan makan mie bakso kesukaannya. Begitulah kebiasaannya setiap sore. Bakso Abang Romli, begitulah orang-orang memanggilnya. Setiap pukul empat sore, gerobaknya sudah mangkal di depan rumah Obi. Anak-anak, remaja, orang dewasa sampai kakek nenek yang sudah renta mengantri, mereka semua ketagihan bakso Abang Romli.

Setelah bermain sepak bola bersama teman-temannya, Obi kecapekan. Meskipun melelahkan, tetapi bermain sepak bola itu sangat menyenangkan. Bentuk bola yang bulat mengingatkan Obi pada bakso Abang Romli yang super lezat. Bayang-bayang bakso sudah memenuhi kepalanya. Obi segera pulang. Ia tidak sabar lagi ingin segera menyantap makanan favoritnya itu.

"Mudah-mudahan Abang Romli sudah ada di depan rumah," harap Obi dalam hati.

Harapan Obi terkabul. Gerobak Abang Romli sudah nangkring di depan rumahnya. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung berlari ke rumah merengek meminta uang pada ibu. Setelah diberi uang, ia pun segera meluncur menuju gerobak Abang Romli.

"Bang, mie baksonya satu porsi ya!" seru Obi sambil menyodorkan mangkuk favoritnya yang bergambar Spongebob.

"Iya," jawab Abang Romli. "Mau pakai pedas tidak?"

"Tidak ah, takut sakit perut."

"Ya sudah, ini mie baksonya."

Semangkuk mie bakso sudah di tangan. Obi segera melangkahkan kakinya menuju rumah, tetapi sebelum menginjak langkah ketiga, Abang Romli keburu memanggilnya.

"Ada apa, Bang?" tanya Obi heran.

"Ke sini, Abang tambahkan lagi baksonya!" seru Abang Romli sambil memberikan sebutir bakso berukuran besar ke mangkuk Obi.

"Wah, terima kasih ya Bang!"

"Sama-sama."

Obi senang sekali. Abang Romli memang baik hati. Aroma bakso sudah menggoda lidahnya. Ia ingin buru-buru segera melahapnya.

Sesampainya di rumah, Obi langsung santap bakso itu dengan lahap. Saking lahapnya, sampai-sampai ia lupa berdoa. Dasar Obi. Padahal, berdoa sebelum makan itu penting sekali!

"Wuih, sedaap! Bakso Abang Romli memang tidak ada tandingannya. Maknyuss...!" gumam Obi bicara sendiri mengikuti gaya pembawa acara kuliner favoritnya.

Ketika sedang asyik menyantap bakso, tiba-tiba Vina, adik Obi yang baru bangun tidur siang menangis. Ibu yang sedang memasak di dapur segera bergegas menggendongnya.

"Bu, aku mau bakso!" pinta Vina begitu melihat kakaknya sedang lahap menyantap bakso.

"Iya, Ibu akan belikan." Ibu segera mengambil mangkuk hendak membelikannya bakso. Tetapi sayang, bakso Abang Romli sudah habis. Tangisan Vina semakin menjadi. Ibu tidak tahu harus berbuat apa.

"Baksonya minta ke kakakmu saja ya!" ucap Ibu mencoba meredakan tangis Vina. Mendengar ucapan Ibu, Obi langsung bergegas ke dapur mengambil sebotol sambal pedas. Lalu, ia campurkan beberapa tetes sambal itu ke baksonya.

"Tidak mau. Aku tidak mau berbagi bakso dengan Vina! Enak saja, ini kan baksoku!" gerutu Obi dalam hati.

"Obi, Vina minta sedikit baksonya ya! " pinta Ibu lembut.

"Aduh, bakso punya Obi pedas Bu! Vina pasti tidak akan tahan!" sergah Obi menolak permintaan Ibu.

Siasat Obi berhasil. Tangisan Vina semakin sulit berhenti. Dan Obi semakin tambah lahap menghabiskan baksonya.

Keesokan harinya, Obi merasa tidak enak badan. Perutnya sakit sekali. Entah berapa kali ia keluar masuk WC. Perutnya mulas minta ampun. Karena saking mulasnya, ia pun terpaksa tidak masuk sekolah. Sayang sekali, padahal hari ini kan ada ulangan Bahasa Indonesia.

Ibu mulai khawatir dengan kesehatan Obi yang belum juga membaik. Ia pun segera memanggilkan dokter untuk memeriksanya.

"Kamu kebanyakan makan pedas," kata Dokter sambil memeriksa lidah Obi yang tampak pucat dengan senter. "Ini obatnya. Nanti diminum ya!"

Obat? Aduh, Obi kan benci sekali dengan obat! Gara-gara makan bakso kepedasan, ia jadi harus minum obat. Huh, sebal!

Obi menyesal. Ia merasa bersalah pada Ibu dan vina. Ia pun segera meminta maaf.

"Maafkan Obi ya, Bu!"

"Iya, tidak apa-apa. Ibu bangga kamu sudah jujur pada Ibu. Tetapi, lain kali jangan seperti itu lagi ya! Kamu harus mau berbagi dengan orang lain. Berbagi itu menyenangkan lho! " ucap Ibu menasihati Obi.

Erica Papaya


Oleh: Rosmansyah

Erica melongo. Matanya tak berkedip. Mulut, lidah dan tenggorokannya bergerak-gerak menelan air liur. Cewek berambut panjang itu duduk manis di sofa menonton acara masak-memasak favoritnya yang tayang setiap hari Minggu pagi.

"Ini dia Choco Brown Cake ala Chef Fadel!" seru Chef Fadel sambil menyajikan cake berlumur cokelat yang baru dibuatnya. Cake-nya memang bikin ngiler. Tapi kalau buat Erica, chef-nya yang justru bikin lebih ngiler.

"Uh... Chef Fadel cute banget sih!" gumam Erica ngomong sendiri.

"Pemirsa, saya punya pengumuman penting buat anda yang suka bikin resep masakan di rumah. Kirim resep anda ke alamat e-mail di bawah ini. Bagi anda yang resepnya terpilih, maka saya akan undang anda untuk masak berdua di sini bareng saya dan anda pun berhak mendapat uang tunai Rp 500.000 serta buku resep masak yang sudah ditandatangani oleh saya. Ayo, buruan kirim resepnya! Saya tunggu loh!"

Erica segera mencatat alamat e-mail yang tertera di layar kaca. Masak bareng Chef Fadel? Erica jelas pengen banget. Kesempatan emas kayak gini nggak boleh disia-siain gitu aja. Kapan lagi coba bisa masak berdua bareng chef terkenal kayak dia. Temen-temen Erica pasti bakalan ngiri tuh!

"Oke pemirsa, tak terasa sudah 30 menit saya menemani anda. Tiga resep unik sudah saya sajikan spesial buat anda. Kini tiba saatnya saya untuk undur diri. Sampai jumpa di Fadelicious minggu depan! Daaah....!"

Begitu acara itu selesai, otak Erica langsung berputar. Ia coba mencari resep dari tabloid dan majalah yang ada di depannya. Tapi, resepnya pada susah semua. Ia harus mencari resep yang unik, praktis dan yang pasti harus bisa menggoyang lidah bukan goyang ngebor atau goyang gergaji.

Lagu Telephone-nya Lady Gaga tiba-tiba berdering membangunkannya. Siapa sih yang nelpon, ganggu banget deh!

"Halo!" ucap seseorang dari seberang sana.

"Iya, ada apa Lan?" jawab Erica cemberut. Tapi dalam sekejap, senyumnya merekah. Lampu-lampu pijar bagai menerangi otaknya. Orlan kan pinter masak. Dia ketua ekskul tata boga. Dia pasti bisa bantuin Erica. "Kebetulan banget, Lan!"

"Kebetulan gimana?" tanya Orlan bingung.

"Bantuin gue masak ya!"

"Masak?"

"Iya, masak!"

"Apa gue nggak salah denger? Tumben lo mau masak?"

"Gue mau ikutan kompetisi bikin resep biar bisa masak bareng Chef Fadel."

"Chef Fadel yang suka nongol di TV itu?"

"Iya, bener banget. Bantuin gue ya, Lan! Pliss..."

"Iya deh gue bantuin."

"Thanks ya, sekarang lo langsung ke rumah gue aja!"

"Sekarang?"

"Iya sekarang. Kenapa? Emang nggak bisa? Betewe, elo nelpon gue mau ngomongin apaan?"

"Apaan ya? Gue lupa."

"Dasar, pokoknya gue tunggu ya!"

****

Ting...tong...ting...tooong.... bunyi bel pintu depan terdengar begitu nyaring. Erica segera beranjak dari sofa empuknya. Ia buka pintu. Sesosok cowok jangkung berkacamata yang tengah mengenakan T-shirt warna oranye sudah berdiri di depannya.

“Langsung ke dapur aja yuk!” ajak Erica.

Furnitur kitchen set berwarna serba silver langsung menyambut mereka. Semua benar-benar bersih. Nggak ada setitik noda pun yang terlihat.

"Jadi, kita mau masak apa, Lan?"

Orlan mulai menarik simpul-simpul saraf otaknya. Ia ingat-ingat kembali resep-resep yang pernah dibikinnya. Pasta ayam lada hitam, kue lapis cokelat, strawberry pancake, semuanya pada ngebosenin. Ia lihat-lihat isi kulkas, tapi nggak ada bahan makanan yang bisa membangkitkan naluri memasaknya.

Setelah berpikir cukup lama, tiba-tiba pandangannya tertahan pada sebuah pohon pepaya yang terlihat dari jendela. Buahnya ranum bergelantungan. Insting memasaknya segera muncul.

"Ahaa, gue tau!" seru Orlan sambil langsung berlari keluar menuju pohon pepaya itu. Seett.... Orlan langsung melesat manjat pohon yang tingginya tidak seberapa itu.

"Eh... eh... mau ngapain lo, Lan?" seru Erica kaget ngeliat Orlan manjat-manjat kayak monyet.

"Ini dia bahan utamanya!" seru Orlan sambil loncat turun ke bawah. Sebuah pepaya berukuran besar yang kelihatannya masih setengah mateng sudah ditangannya.

"Hah, pepaya?"

“Iya pepaya! Dengan bahan ini kita akan bikin makanan yang supeer lezaat...”

Memasak pun segera dimulai. Orlan segera mengupas buah yang bernama latin Carica papaya itu. Ia buang bijinya. Dan dagingnya yang berwarna oranye dipotong-potong menyerupai dadu.

"Ca, tolong ambilin agar-agar, yoghourt sama gula!" seru Orlan. Gayanya kayak chef hotel bintang lima aja.

"Okey!" jawab Erica sambil langsung mengubek isi dapur mengambil bahan-bahan yang disebutin sama Orlan

"Tolong ambilin lagi cetakan kue sama kismis!"

Sesi mengaduk dimulai. Dengan cekatan, Orlan mulai menggunakan tangan ala chef-nya. Erica cuma bengong tanpa kontribusi berarti. Meja dapur disulap menjadi panggung hiburan gratis. Erica bagai penonton sirkus yang sedang takjub melihat atraksi akrobatik badut sirkus.

Setelah kalis, adonan lalu dimasukan ke dalam cetakan kue mangkuk yang bentuknya lucu-lucu. Setelah semua adonan dimasukan ke dalam cetakan, adonan lalu dikukus. Dan dalam waktu yang relatif singkat, hidangan sudah matang dan siap untuk diangkat.

"Puding pepayanya udah mateng!" seru Orlan sambil meletakan puding-puding itu ke piring.

" Gue nyicip donk!"

"Eits, tunggu dulu! Masukin ke kulkas dulu, baru siap disajiin. Sambil nunggu pudingnya dingin. Kita bikin garnish-nya dulu yuk!"

"Garnish? Apaan tuh?"

"Dasar oon, lo liat gue aja deh!"

Sirup stroberi, ceri, krim sama potongan pepaya yang sudah diiris kecil-kecil disiapkan. Semua dibentuk sedemikian rupa. Setelah pudingnya dingin, puding pun dihias layaknya seorang puteri. Dan dalam sekejap, puding siap disajikan.

Hap, Erica santap puding itu. Matanya berbinar. Pipinya langsung memerah.

"Emm... enak banget!"

"Siapa dulu donk yang bikinnya! Orlan gitu!"

"Betewe, nama resep ini apa Lan?"

"Apa ya?" Otak Orlan berputar. "Gimana kalo puding Erica Papaya?"

Uhuk... uhuk... Erica keselek batuk.

"Erica Papaya?"

"Iya, Erica Papaya. Gimana? Bagus nggak?"

"I... iya, bagus." Muka Erica langsung memerah. Nama itu sungguh unik dan indah. Erica tersanjung.

Erica Papaya sepakat menjadi nama resep masakan itu. Erica langsung menulis dan mengirimkannya ke alamat e-mail program Fadelicious. Mudah-mudahan aja resepnya bisa menang!

****

Selang 3 hari kemudian, Erica dihubungi pihak program Fadelicious. Resep Erica terpilih. Ia berhak menjadi bintang tamu di Fadelicious edisi minggu ini. Erica jelas seneng banget. Akhirnya mimpinya menjadi kenyataan.

Ia langsung sebarkan kabar gembira itu ke semua teman-temannya.Tak lupa, Orlan sang pahlawan yang membantu mewujudkan mimpinya pun ikut ia kabarkan.

Hari Minggu akhirnya tiba. Detik-detik paling menentukan dimulai. Erica bersolek. Wajahnya dipoles secemerlang Dian Sastro Wardoyo. Penampilannya disulap stylish kayak Agnes Monica. Sebentar lagi ia mau masuk TV!

Orlan udah janji akan menjemput untuk mengantarnya ke studio TV tempat acara Fadelicious disiarkan. Tapi setelah ditunggu hampir setengah jam, Orlan belum nongol juga. Erica mencoba menghubungi hapenya tapi nggak aktif.

Ketika sedang cemas menunggu, tiba-tiba hapenya berbunyi.

"Halo!" ucap seseorang. Suaranya terdengar berat kayak suara bapak-bapak. "Apa ini dengan Nak Erica?"

Begitu mendengarnya, suasana hati Erica langsung mendadak nggak enak.

“Iya, ini Erica. Ada apa ya, Om?”

"Ini dengan ayahnya Orlan. Orlan nggak bisa jemput kamu. Tadi dia kecelakaan.”

"Kecelakaan?"

Tut... tuut.....telepon terputus.

“Halo! Halo!” seru Erica panik. Tapi, nggak ada jawaban lagi.

****

Erica mempercepat langkahnya. Jantungnya berdetak kencang. Berbagai bayangan buruk mulai menghantui pikirannya. Setahu Erica, hanya ini satu-satunya rumah sakit yang paling dekat dengan lingkungan tempat tinggalnya. Mata Erica memelototi setiap orang-orang yang berlalu lalang di lobi rumah sakit itu.

“Erica!” ucap seseorang dari belakang. Ternyata itu Orlan. Ia sedang berjalan dipapah ayahnya dari arah telepon umum.

"Orlan!"

"Erica, kenapa lo kemari?"

"Lo nggak apa-apa kan?"

"Gue nggak apa-apa. Mending sekarang lo cepetan pergi ke studio, nanti lo telat!"

"Gue udah ngebatalinnya. Tadi gue udah ngehubungin pihak TV. Lagian kalo pergi juga percuma. Acaranya kan udah mulai."

Orlan terdiam. Ia merasa bersalah.

"Maafin gue ya, Ca. Gara-gara gue elo jadi batal masak bareng Chef Fadel."

"Ah, nggak apa-apa kok. Lagian gue belom siap. Gue masih harus banyak belajar."

"Dan untuk resep yang ketiga, saya akan bikin resep kiriman pemirsa yang terpilih. Nama resepnya Erica Papaya. Sayang sekali yang punya resep nggak bisa hadir di sini karena ada halangan. Tapi nggak apa, saya akan buatkan spesial resep ini buat dia," ucap Chef Fadel berceloteh dari layar TV 24 inchi yang nangkring di sudut kiri ruangan.

Erica dan Orlan saling menatap. Mereka tersenyum. Akhirnya resep mereka masuk TV.

****

Senin, 07 Desember 2009

SAYA INGIN MENJADI PENULIS HEBAT



Saya Ingin Menjadi Penulis Hebat!
Penulis Bermental Baja Tahan Karat
Oleh: Rosmen


Setiap orang adalah"penulis". Sejak lahir kita sudah ditakdirkan menjadi seorang "penulis". Tindakan adalah tintanya dan kehidupan adalah kertasnya. Seberapa panjang tulisan kita, tergantung Tuhan Yang Maha Pencipta. Dia bisa mengakhiri tulisan kita kapan saja. Bagus jeleknya tulisan kita, semua akan diterbitkan di kehidupan selanjutnya, yaitu di akhirat.

Menjadi Penulis adalah impian saya. Mengapa saya ingin menjadi penulis? Itulah pertanyaan yang ingin saya jawab pertama kali. Pernyataan di atas adalah salah satu jawabannya, tapi tentu jawabannya bukan hanya itu saja.

Menurut saya, menjadi penulis itu sangat menyenangkan. Saya bisa mengeluarkan semua ide dari otak saya, mengungkapkan perasaan dari hati saya dan mengaktualisasikan eksistensi dari dalam diri saya.

Saya tidak hanya ingin menjadi penulis, tapi saya ingin menjadi penulis hebat! Penulis hebat adalah penulis yang banyak melakukan hal hebat. Hal hebat inilah yang menjadi tantangan berat yang harus saya hadapi.

Setiap penulis, termasuk penulis hebat tentu berawal dari membaca. Sejak kecil saya sudah suka membaca. Meski saya terlahir dari keluarga miskin yang sama sekali tidak akrab dengan dunia menulis dan membaca, tapi itu tidak dapat menahan dahaga saya untuk terus menulis dan membaca. Saya baca apa saja yang bisa saya baca. Buku, koran, majalah, papan reklame, kemasan produk, coretan-coretan semuanya saya baca.

"Membaca itu hobinya orang kaya! Jangan sok kaya deh lo!" Begitulah ejekan teman-teman pada saya. Saya tidak peduli dengan ejekan mereka. Saya anggap itu sebagai do'a. Mudah-mudahan saja dengan berawal dari membaca, saya bisa beneran jadi orang kaya hehe...

Tentu kekayaan bukanlah tujuan utama saya. Menjadi penulis adalah sebuah cita-cita yang membanggakan yang tentu tidak bisa dinilai dari aspek materi saja. Tujuan menulis harus berasal dari hati nurani dan kemauan kita sehingga kita akan memegangnya dengan sungguh-sungguh. Dengan tujuan yang jelas, saya tidak akan ragu untuk berjuang mewujudkan impian saya menjadi penulis hebat.

Perjuangan saya diawali ketika saya duduk di bangku kelas 3 SMP. Suatu hari sebuah kesempatan emas datang menghampiri saya. "Lomba Resensi dan Novel Teenlit: Speak Your World" begitulah bunyi pengumuman lomba menulis yang tertera di halaman belakang novel terbitan Gramedia Pustaka Utama yang saya pinjam dari salah seorang teman. Inilah kesempatan saya. Saya begitu menggebu-gebu ingin mengikuti lomba itu. Dengan ide cerita orisinil yang saya punya, saya memberanikan diri untuk menulis novel. Tapi baru beberapa lembar menulis, saya terpaksa harus berhenti karena terbentur biaya rental komputer yang membengkak.

Untuk menulis novel mungkin masih terlalu berat untuk saya. Saya pun mulai beralih menulis artikel dan cerpen. Tapi, semua itu tidak membuat saya lebih baik. Berbagai permasalahan dalam menulis mulai menghantui saya. Saya takut tulisan saya jeleklah, ejaannya salahlah dan bla bla bla. Saya tidak pede mengirimkan tulisan saya ke media. Memang sih ada beberapa tulisan saya yang saya kirim ke media, tapi semua hasilnya nihil, tidak ada satu pun tulisan saya yang berhasil dimuat.

Berbagai pertanyaan yang mengusik hati mulai menyergap saya. Bisakah saya menjadi penulis sukses? Mungkinkah saya tidak cocok menjadi penulis? Saya mulai meragukan impian saya. Saya menyerah. Saya berhenti menulis dan berjanji akan melupakan dunia menulis dari kehidupan saya.

Saya sudah berhenti menulis. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu tetap mengusik saya. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya gila. Saya harus menjawab semua pertanyaan itu. Tapi, bagaimana saya menjawabnya? Menulis, ya menulis adalah jawabannya. Saya tidak akan pernah tahu saya bisa atau tidak menjadi penulis kalau saya tidak menulis.

Dengan kepercayaan diri yang baru, saya mulai kembali menulis. Saya tidak terbebani lagi. Saya pun mulai gencar mengirimkan karya saya ke media baik itu melalui pos maupun e-mail. Meski memang belum berhasil, tapi saya terus mencoba dan mencoba hingga akhirnya setelah saya duduk di kelas 2 SMA artikel pertama saya yang berjudul "Jadilah Generasi Baru Bersih dari Korupsi" dimuat di lembar Belia surat kabar Pikiran Rakyat edisi Selasa tanggal 15 April 2008. Saya betul-betul senang dan bangga. Ini adalah salah satu momen paling bersejarah dalam hidup saya.

Pengorbanan saya akhirnya terbayar juga. Saya bolak-balik ke rental komputer, ke warnet, ke kantor pos, bahkan saya sempat pulang jalan kaki 4 KM karena ongkos pulang habis dipakai ke warnet. Huh, rasanya saya ingin menagis haru kalau mengingat hal itu!

Dari menulis artikel, saya mendapat honor sebesar Rp. 200.000- dipotong pajak 5% jadi Rp. 190.000-. Surat tanda terima honornya masih ada lho! Dari honor segitu, saya pun bisa membeli sebuah handphone.

Saya tidak hanya menulis artikel dan cerpen, berbagai naskah drama pun sudah pernah saya tulis mulai dari yang berbahasa Indonesia, Inggris sampai Sunda. Bahkan Guru Bahasa Sunda saya sempat mengirimkan naskah drama Sunda saya yang berjudul "Karedok Emok" ke TVRI Jabar untuk dipentaskan. Meski belum membuahkan hasil, tapi itu merupakan prestasi tersendiri buat saya.

Sejak kelas 3 SMA saya mulai mengikuti newsletter Kursus Menulis 9 Minggu bersama Jonru. Dari sinilah saya mulai belajar kepenulisan lebih dalam lagi. Saya pun mulai berani menulis di blog dan lebih gencar lagi mengirim karya ke media.

Setelah menunggu lebih dari 1 tahun, akhirnya karya kedua saya yang berupa cerpen berjudul "Realita Cinta Bau Cuka" dimuat di tabloid Gaul edisi 5-11 Oktober 2009. Dengan dimuatnya karya ini, semangat saya untuk menulis pun semakin tambah membara.

Perjalanan saya untuk menjadi penulis sukses sekaligus hebat masihlah sangat panjang. Seperti kata Louis L'Amour, "Kita meraih kemenangan bukan dalam hitungan mil, melainkan inchi. Raihlah beberapa inchi saat ini, lalu mulai bertahan dan kemudian raih lagi beberapa inchi." Yup, saya masih dalam proses. Saya tidak boleh puas dan harus terus berkarya.

Saat ini, saya dapat merasakan kenikmatan luar biasa dalam menulis. Inilah salah satu hal hebat yang saya yakini dapat membawa saya menjadi seorang penulis hebat yang tentunya sekaligus penulis sukses. Sebuah pilihan hidup telah saya ambil. Saya harus mempertanggungjawabkan pilihan saya ini dengan berusaha mewujudkannya menjadi nyata.

Kerja keras dan do'a adalah kunci keberhasilan. Kita juga harus konsisten berjalan di atas rel yang benar supaya tidak tergelincir dari jalur menuju keberhasilan. Untuk itu otak, hati dan pikiran saya harus difokuskan. Saya harus membenahi mental saya dengan mental seorang penulis hebat. Karena saya yakin seorang penulis hebatlah yang bisa menjadi penulis sukses.

Penulis hebat adalah seorang yang bermental baja. Layaknya baja, seorang penulis hebat harus kuat terhadap benturan apapun. Meski terkadang ia memuai, tapi ia segera ke bentuknya semula, yaitu ke bentuk mentalnya yang seorang penulis hebat. Layaknya baja dan besi yang dapat menajamkan baja dan besi lain, seorang penulis hebat juga dapat "menajamkan" sesama dengan karya-karyanya. Untuk itu, ia harus selalu diasah dan ditempa supaya karya-karyanya berkembang menjadi karya-karya yang hebat, berkualitas dan bermanfaat bagi orang banyak.

Seorang penulis hebat tidak hanya harus kuat, ia juga harus tahan karat. Ia harus punya formula ampuh seampuh campuran Nikel, Kromium atau Timah yang mampu melapisi baja sehingga tahan karat dan tidak lapuk dimakan usia. Dengan formula seperti itulah kita bisa menangkis segala gangguan dari luar yang dapat menggerogoti semangat dan tekad kita. Penulis hebat tidak akan pernah membiarkan semangat dan tekadnya keropos. Ia akan selalu tetap mempertahankan mimpi dan cita-citanya.

Penulis hebat tidak ditentukan oleh seberapa banyak karyanya yang sudah diterbitkan atau dipublikasikan, seberapa banyak karyanya yang laku di pasaran atau seberapa banyak penghargaan yang sudah ia dapatkan. Penulis hebat yang sebenarnya adalah penulis super tangguh yang akan selalu berjuang mewujudkan impiannya sebagai penulis sukses.

Untungnya, sekarang ada buku CARA DAHSYAT MENJADI PENLIS HEBAT. Sebuah buku yang dapat menuntun kita mewujudkan mimpi menjadi penulis hebat sekaligus penulis sukses. Buku ini dapat dijadikan oase untuk memuaskan dahaga menulis kita. Untuk itu, buku ini harus saya baca. Tentu bukan cuma dibaca, tapi isinya juga harus diterapkan dalam kehidupan nyata.

Kita bisa mengambil banyak manfaat dari buku penuh inspirasi ini. Tentu ini sangat bagus untuk menumbuhkan motivasi diri supaya lebih terpacu lagi.

Untuk saat ini, buku CARA DAHSYAT MENJADI PENULIS HEBAT belum tersedia versi cetaknya. Jadi, buku ini belum bisa didapat di toko-toko buku terdekat. Tapi untuk kita yang ingin segera melahap buku ini, kita tidak usah khawatir karena versi ebook-nya sudah tersedia.

Untuk versi ebook-nya, kita bisa mendapatkan sejumlah PENAWARAN SUPER WAH yang tidak berlaku untuk versi cetaknya. Harga ebook-nya cuma Rp. 49.500-. Tidak hanya itu, setiap pembeli juga akan mendapat bonus voucher sebesar Rp. 200.000- dari Sekolah Menulis Online. Ini adalah diskon SMO paling BUESARRR yang pernah diberikan! Diskon ini ekslusif cuma ada di sini lho!

Sudah puas? Eits... tahan dulu, bonusnya masih ada lagi lho! Setiap pembeli juga berhak mendapat modul esklusif dari SMO secara GRATIS, didaftarkan ke kelas SMO Free Trial,mendapat bimbingan karir di bidang penulisan yang berlaku seumur hidup dan masih banyak lagi.

Tergiur? Tunggu apalagi, segera dapatkan PENAWARAN SUPER WAH ini! Ingat, penawaran ini hanya berlaku untuk versi ebook, TIDAK BERLAKU untuk versi buku cetaknya. Penawaran ini akan ditutup sewaktu-waktu bila versi cetaknya sudah terbit. Makanya, jangan tunngu lama lagi! Segera raih kesempatan emas yang sangat langka ini!

Ingin tahu lebih banyak lagi tentang buku CARA DAHSYAT MENJADI PENULIS HEBAT? Kunjungi http://www.penulishebat.com
Mau ikutan fan-nya di Facebook? Klik http://www.facebook.com/penulis hebat
Jangan lupa follow Twitter-nya juga ya! Klik http://www.twitter.com/penulishebat

Menjadi penulis bukanlah hal yang mustahil. Saya pasti bisa menjadi penulis hebat dengan terus berkarya dan meningkatkan kualitas diri.

Baja bisa kuat dan tahan karat karena dibuat dari campuran besi serta bahan-bahan lain yang kuat. Begitu pun dengan penulis hebat. Penulis bisa hebat karena dibentuk oleh pikiran serta tindakan-tindakannya yang hebat.

Saya siap menjadi penulis hebat!